Yang menarik untuk diamati adalah: banyak sekolah bintang empat tersebut bukan dari organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah. Sekolah-sekolah bintang empat itu praktis milik perorangan –lewat satu yayasan yang dikendalikannya.
Al Hikmah Surabaya, misalnya, didirikan oleh alumnus ITS Surabaya, Ir Abdul Kadir Baraja. Kini Al Hikmah sudah berusia 35 tahun.
BACA JUGA:BRI Bakal Terapkan SOP Sistem AML
BACA JUGA:Setelah Isi BBM, Mobil Avanza Meledak
Al Hikmah sudah seperti Citibank: banyak alumninya yang mendirikan sekolah serupa. ''Alumni'' yang saya maksud termasuk para guru yang pernah lama mengajar di Al Hikmah.
Kini sudah sekitar 50 sekolah Islam yang ''copy paste'' Al Hikmah –dengan biaya separonya. Hebathya, Al Hikmah tidak keberatan di-copy seperti itu. Bahkan dibantu sepenuhnya. Tanpa ada hubungan ''saham''.
Level orang kaya di Jakarta tentu beda dengan level orang kaya di Bandung atau Surabaya. Pun level orang kaya di kota yang lebih kecil. Level orang kaya di kota kecil inilah yang disasar copy Al Hikmah.
Maka kota sekecil Sidoarjo pun bisa memiliki ''Al Hikmah'' versi murah: Sekolah Islam Raudlatul Jannah. Rp 1,2 juta/bulan. Juga kebanjiran murid.
BACA JUGA:Ribuan Perempuan Sumsel, Gelorakan Tradisi Berkebaya
BACA JUGA:Tiga Nama PJ Bupati Dilantik, Muara Enim, Banyuasin dan Lahat?
Sekolah seperti Al Hikmah sudah bukan lagi sekadar sekolah. Ia sudah menjadi sebuah sistem. Kekuatan sistem itulah yang membuat model Al Hikmah bisa di-copy dengan biaya lebih murah untuk kota yang lebih kecil.
Maka 20 tahun ke depan akan lahir generasi baru Islam yang berbeda sama sekali dengan generasi sekarang.
Perorangan ternyata mampu mengharumkan nama agama. Tidak harus lewat organisasi keagamaan.(Dahlan Iskan)
BACA JUGA:7 Manfaat Wortel untuk Kesehatan
BACA JUGA:7 Manfaat Mengonsumsi Rebung untuk Kesehatan