Ada pengantre yang membawa segebok kertas lelucon itu. Siapa saja boleh mengambil dan memperlihatkan ke sesama pangantre.
Untung saya sudah mengikuti sidang kriminal di ruang sidang itu sehari sebelumnya. Saya sudah tahu di mana posisi-posisi terdakwa, hakim, jaksa, pengacara dan juri.
Pukul 09.15 vonis itu dijatuhkan: ruang sidang sudah penuh. Tidak ada yang bisa masuk lagi. Pun yang antre paling depan.
Tidak ada yang marah. Tidak ada yang protes. Lebih 100 orang yang antre di kanan bubar begitu saja.
BACA JUGA:Gaet “Messnho” Tapi Belum Bisa Dibawa
BACA JUGA:Barcelona dikabarkan sedang mengincar pelatih Arsenal
Tiga setengah jam antre untuk kembali. Hanya untuk menyumbang dua botol ke tempat sampah.
Meski 'selang tua' sebenarnya saya bisa menahan kencing 8 jam --kalau pagi minum sewajarnya. Tapi saya pilih sehat.
"Cari sarapan," kata saya pada Erick. Kami pun ke tempat di mana Erick parkir mobil. Rp 750.000. Saya ingat Uber tadi pagi: juga Rp 800.000. Total Rp 1,5 juta dicopet Trump.
Saya kangen Central Park. Kami pun bermobil ke sana. Sambil menunggu kios Halal Food pinggir jalan buka jam 11.00.
BACA JUGA:KPK Setor Uang Rampasan Rp 592 Miliar ke Negara
BACA JUGA:Kloter 7 Palembang Berangkat ke Madinah
Jalan-jalan di Central Park tidak ada duanya. Sumber inspirasi terbaik bagi para penulis novel.
Saya coba cari tiket untuk pertunjukan di Broadway. Saya lihat ada teater musikal apa saja hari itu. Jamnya tidak cocok. Inilah kali pertama ke New York tanpa nonton di Broadway.
Sidang Trump hari itu memang klimaks: saksi penting si wanita esek-esek dikonfrontasikan dengan pengacara Trump. Hari-hari berikutnya antiklimaks. Biar pun ada tempat kosong saya juga tidak akan antre ke sana.
Apalagi saya sudah harus meninggalkan New York keesokan harinya. Antre tapi gagal ternyata lebih menarik dari sebaliknya.(Dahlan Iskan)