MBG Rizhao

Sabtu 03 May 2025 - 21:23 WIB
Reporter : Gus Munir
Editor : Eris Munandar

BACA JUGA:Tempe Lebih Sehat Tanpa Digoreng, Ini Cara Mengolahnya!

Dua dokter itu: dr Jagaddhito (Unair-UGM) dan dr Rachim Enoch (Unpad-Unpad). Jagaddhito putra mantan rektor ITS. Aktivis mahasiswa Surabaya. Rachim orang Singkawang.

Dua-duanya merasa beruntung sekolah satu tahun di Rizhao. Ini kota kecil tapi peralatan dan sistemnya modern. 

Biaya hidupnya juga murah. Temannya yang dapat sekolah di kota besar harus ''defisit''. Beasiswanya habis hanya untuk sewa apartemen.

Dari Jagaddhito saya tahu: di kota sekecil ini pun ada 20 mahasiswa dari Indonesia. Mereka kuliah e-commerce. Didominasi wanita. Beberapa di antaranya berjilbab. Salah satunya dari Banyuwangi. Dari Muncar. Ayahnyi sopir truk.

BACA JUGA:5 Penyebab Bulu Mata Rontok dan Mudah Patah

BACA JUGA:Manfaat Ajaib Bawang Merah, Dari Cegah Kanker sampai Perkuat Otot

Saya ajak mereka makan malam. Mereka pilih di resto halal Xibei. Resto baru. Modern. Bersih. Sayang, nasinya sudah habis. 

Tinggal mie dan daging. Untung satenya masih banyak. Sate domba khas wilayah muslim di Barat Laut yang gurih.

Mereka lantas menawarkan saya ke pantai Wan Ping Kou (万平口). ''Gerbang Kedamaian Abadi''. Pagi-pagi. Sebelum pukul lima: harus melihat matahari terbit.

Orang Rizhao terlalu bangga dengan matahari terbitnya. Mereka bilang, matahari bukan terbit dari timur, tapi dari Rizhao.

Benar. Indah sekali. Klaim itu tidak berlebihan.

BACA JUGA:Daun Bawang, Sayuran Sederhana dengan Manfaat Luar Biasa untuk Tubuh

BACA JUGA:Tebu Hitam, Si Manis Kaya Manfaat untuk Kesehatan Tubuh

Setelah matahari meninggi kami duduk santai di pasir. Dialog pagi. Tentang apa saja: agama, komunisme, meritokrasi, pertumbuhan ekonomi (lihat Disway besok atau lusa).

Usai ''kuliah pantai'' saya ajak mereka makan pagi di hotel tempat saya bermalam: Xilaideng. Tanyalah ke perusuh Milwa, apa nama hotel itu kalau di Indonesia.

Kategori :