Waktu itu ayah-ibu dan kakak dr Ben sempat lari dikejar tsunami. Pun si kecil, anak sang kakak, berhasil digendong. Mereka menuju masjid di desa itu. Masjid berlantai dua.
Sang ibu lari sambil menggendong si kecil –umur 2 tahun. Diikuti kakak Ben, ayah si kecil. Sampai di masjid mereka akan naik ke lantai atas. Sebelum naik tangga, sang ibu menyerahkan gendongan itu ke ayah si kecil. Takut jatuh.
Sang ibu berhasil naik tangga. Selamat. Sampai di lantai dua. Tapi si kecil yang digendong bapaknya tersapu tsunami.
Bagaimana dengan ayah dokter Ben? Sebelum sampai masjid sang ayah ingat sesuatu: rumah belum dikunci. Ia balik ke rumah. Tidak kembali lagi.
Sehari setelah tsunami, dokter Ben sudah tiba di Aceh. Sebagai MER-C. Juga sebagai anak yang kehilangan ayahnya.
BACA JUGA:Ronaldo Dikabarkan Beli Mega Mansion di Pulau Para Milyuner di Dubai
BACA JUGA:Piala FA Kesempatan Terakhir MU
Ketika Palestina terus menderita, MER-C mendiskusikannya. Apa yang bisa diperbuat untuk Palestina. "Kami melihat konflik Israel-Palestina ini tidak akan selesai. Sampai akhir zaman," ujar dr Ben. "Karena itu bentuk bantuan yang kita berikan harus pula yang bersifat jangka panjang," tambahnya.
Begitulah latar belakangnya: muncul ide membangun rumah sakit Indonesia di Gaza. (*)
BACA JUGA:Hadapi Liverpool, Arsenal Jalani Ujian Berat
BACA JUGA:SFC Tak Boleh Hilang Poin Lawan PSKC