Oleh: Dahlan Iskan
Sumur tua itu seberapa tua? Sebut saja itulah sumur-sumur minyak peninggalan Belanda.
Ketika pecah perang dunia, kedua ladang minyak ikut jadi sasaran perang. Apalagi ketika Jepang mulai masuk Indonesia.
Belanda tidak rela ladang minyak itu jatuh ke tangan musuh. Itu sama saja dengan memberi Jepang bahan bakar yang sangat diperlukan dalam perang.
Yang di Musi Banyuasin, Sumsel, itu beda. Sebagian memang sumur tua peninggalan Belanda. Sebagian lagi benar-benar sumur milik rakyat setempat.
BACA JUGA:Bakal Bentuk Perda untuk Perbaikan Tata Kelola BLUD RSUD Muaradua
BACA JUGA:Pohon Tumbang Timpa Gedung Sekolah Saat Siswa Belajar
Yang milik rakyat di Muba itu sebenarnya tidak bisa disebut sumur. Minyak mentahnya muncul di kolam kecil di permukaan tanah. Rakyat tinggal menciduknya.
Di Muba, puluhan tahun lalu, rakyat sampai membuat instalasi penyulingan minyak sendiri. Sederhana. Hanya dipanaskan di dalam drum. Mereka bisa mendapatkan kerosin (minyak tanah) untuk keperluan sehari-hari. Kelebihannya dijual kepada masyarakat setempat.
Tentu ”kilang” rakyat seperti itu kurang efisien. Tapi rakyat menikmatinya. Puluhan tahun. Sebelum akhirnya yang seperti itu dianggap ilegal. Dan penyulingan rakyat seperti itu dianggap membahayakan.
Toha, bupati terpilih Musi Banyuasin adalah bagian dari orang yang hidup dari sumur rakyat. Di Muba minyak mentah tidak perlu dicari sampai ke perut bumi. Ia seperti muncul sendiri ke permukaan bumi. Kalau pun perlu dibuatkan sumur itu hanya sumur yang dangkal.
BACA JUGA:Angka Pengangguran di OKU Selatan Turun 0,05 Persen
BACA JUGA:Viral, Video Gus Miftah Terhadap Tukang Es, Gus Yusuf Anggap Sebagai Candaan
Itu beda dangan sumur tua di banyak daerah di Indonesia: Bojonegoro; Sanga-sanga, Kaltim: Jambi; Aceh; sampai Blora.
Jumlah sumur tua peninggalan Belanda itu jumlahnya di atas 10.000 sumur. Dulu, sumur-sumur minyak bumi itu ditinggalkan begitu saja oleh Belanda. Sebagian lagi justru mereka buntu. Disumbat. Diurug. Dimatikan. Agar jangan jatuh ke musuh Belanda.