Hamas Shekel
Dahlan Iskan-Photo ist-Ist
Oleh: Dahlan Iskan
ISRAEL kini sudah membicarakan bagaimana wujud Gaza setelah perang selesai. Debat masih seru. Antar politisi beda sayap. Saling berbantah.
MER-C juga sudah membicarakan bagaimana nasib Rumah Sakit Indonesia pasca perang. Terutama karena RS Indonesia itu kini rusak akibat serangan Israel. "Kami merencanakan untuk memperbaikinya," ujar dokter Sarbini Abdul Murad, ketua presidium MER-C. "Agar bisa segera dipakai lagi," katanya.
RS Indonesia dibangun oleh MER-C. Dari dana masyarakat Islam Indonesia. Terbesar kedua di Gaza. Kapasitasnya lebih 200 tempat tidur pasien.
Dulu RS Indonesia 2,5 lantai –termasuk basement. Belakangan MER-C menambah dua lantai lagi ke atas.
BACA JUGA:Dukung Smart City, Seluruh OPD Bakal Terintegrasi Satu Layanan Aplikasi
BACA JUGA:18 Pelaku UMKM Mendapat Bantuan Peralatan Mesin Jahit
Basement itu hasil kompromi. Awalnya tanpa basement. Pihak Palestina minta. Sekalian untuk perlindungan kalau ada serangan. MER-C sebenarnya keberatan. Biaya membuat basement mahal.
Basement inilah yang oleh Israel dianggap sebagai bunker. Pejuang Hamas dianggap menjadikan bunker itu sebagai perlindungan dari kejaran. Maka Israel menganggap sah membombardir Rumah Sakit Indonesia. Padahal, kata dokter Ben –panggilan Sarbini sehari-hari– basement itu untuk menyimpan obat-obatan.
Ada tuduhan lain ke RS Indonesia: jadi pusat pembuatan senjata Hamas. Bukti yang diajukan: sering ada kiriman minyak solar ke rumah sakit tersebut. "Kami memang punya stok solar relatif banyak. Agar rumah sakit tetap bisa berfungsi saat daerah sekitarnya mati lampu," ujar dokter Ben.
RS Indonesia juga punya sumber air sendiri. Cukup besar. "Kami bor tanah sampai 100 meter. Airnya sangat baik," ujar dokter Ben. Belum lagi peralatan medisnya. "Semua yang terbaik di Gaza," katanya. "Termasuk peralatan MRI-nya," tambahnya.
BACA JUGA:Sebar Stiker Bantuan Polisi, Cukup Scan Buat Laporan
BACA JUGA:Lima Anggota KPU Kabupaten OKU, Dua Wajah Lama, Tiga Orang Baru
Untuk membeli peralatan medis saja menghabiskan, waktu itu, Rp 75 miliar. Lebih besar dari biaya membangun fisik RS-nya sendiri: Rp 60 miliar. Begitu besar hasil pengumpulan dana receh dari umat Islam Indonesia.