Gelap Cahaya

Dahlan Iskan salat berjamaah di masjid di pusat kota Fuzhou. -Foto: Disway-Gus munir

Oleh: Dahlan Iskan

BERENAM kami ke masjid itu. masjid di pusat kota Fuzhou, ibu kota provinsi Fujian.

Masjid besar. Kosong. Gelap. Padahal sudah waktunya salat magrib –salat ''tiga unit gerakan'' di waktu matahari terbenam.

Gerbang depannya tutup. Ini gerbang baru. Temboknya tinggi sekali. Bernuansa Islami.

"Lewat samping," ujar Alwi Arifin, dosen Bahasa Indonesia asal pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

BACA JUGA:Misterius, Anak Hilang Diduga Dibawa Makhluk Gaib, Begini Kronologisnya

BACA JUGA:AHY Raih Penghargaan Tokoh Transformasi Digital di Bidang Pertanahan

Alwi sudah biasa ke masjid itu. Tiap Jumat. Tapi baru sekali ini datang di waktu magrib.

Kami pun masuk lewat gerbang samping. Memasuki koridor. Itulah koridor yang memisahkan bangunan gerbang depan dengan bangunan masjid.

Gerbang depan itu sekaligus untuk kantor, penunggu masjid, dan ruang pertemuan. Bangunan masjidnya sendiri sepenuhnya untuk ruang ibadah.

Setelah berwudu kami masuk masjid. Berwudu adalah ritual membasuh muka, tangan, dan kaki sebelum salat.

BACA JUGA:Lima Juta Buruh Siap Mogok Nasional Akhir Oktober, Tuntut Naik Gaji

BACA JUGA:Bocah 2 Tahun Hilang Secara Misterius

Sambil meraba-raba di kegelapan kami memasuki pintu utama masjid. Pintu besar. Benar-benar gelap.

Di dalam masjid kami menyebar ke segala arah: mencari di mana saklar untuk menghidupkan lampu. Termasuk dua mahasiswa yang Buddha dan Kristen itu. Ikut sibuk.

Mereka pun menyalakan flash di handphone. Lumayan. Masjid ini besar. Semua area di dekat pintu diraba. Tidak ketemu. Saya menuju tempat imam –biasanya ada saklar di situ. Juga tidak ada.

Rupanya ada on-off tersentral di kantor masjid. Kantornya terkunci.

BACA JUGA:Ajukan Banding atas Kasus Pembunuhan Siswi SMP

BACA JUGA:Warga Hancurkan Jalan Setapak

Alwi lari ke bangunan depan. Ia menemui penjaga masjid. Ia merayunya untuk menyalakan lampu sentral. Tidak berhasil.

Petugas itu tidak berani melangkahi prosedur. Ia justru mengatakan mengapa harus menyalakan lampu. Kan cukup pakai bocoran cahaya dari koridor.

Memang lama-lama terasa tidak gelap. Sebersit cahaya dari gerbang sudah bisa mengusir gelap. Kata ''mengusir'' itu tidak tepat.

Kata ''gelap'' hanyalah ciptaan penyair. Di mata ilmuwan gelap itu tidak ada. Yang ada adalah cahaya. Gelap terjadi karena tidak ada cahaya.

BACA JUGA:Cara Ampuh Basmi Rayap di Rumah Secara Alami

BACA JUGA:Cara Membuat Parfum Tahan Lama di Tubuh

Maka di remang-remang cahaya itu kami menuju arah imam biasa memimpin salat.

Saya minta Alwi yang jadi imam. Alwi justru memaksa saya jadi imam. Terjadilah saling paksa.

Akhirnya saya bisiki telinga Alwi: "Anda saja yang jadi imam. Saya baru saja murtad".

Alwi pun tersenyum. Saya langsung mengumandangkan iqamah. Serasa Novi Basuki lagi jadi imam di depan saya.

BACA JUGA:Bukan Hanya Kentang: Makanan Pengganti Nasi yang Perlu Anda Ketahui

BACA JUGA:Kunci Kesehatan, Tips Praktis Menjaga Gaya Hidup Sehat Sehari-Hari

Rupanya teman yang Buddha dan Kristen tadi mengabadikan kami salat. Entah dari mana mereka dapat cahaya (lihat foto).

Dahlan Iskan salat berjamaah di masjid di pusat kota Fuzhou.--

Sebenarnya ada satu teman lagi yang bisa dipaksa jadi imam: Moh Khodir. Ia, dulu, guru bahasa Mandarin Alwi di pondok Nurul Jadid. Juga guru mandarinnya Novi Basuki. Khodir kini lagi di Fuzhou: menyelesaikan S-3. Ia calon doktor di bidang kurikulum.

Khodir adalah generasi pertama santri Nurul Jadid yang bisa bahasa Mandarin. Juga asli Probolinggo. Juga suku Madura pendalungan. Juga rendah hati dan menjaga sopan santun yang tinggi.

BACA JUGA:Jarang Diketahui! Inilah Manfaat Kesehatan Daun Cabai untuk Kulit

BACA JUGA:Oppo Hadirkan ColorOS 15 dengan Desain Baru dan Kecerdasan Buatan yang Ditingkatkan

"Di sini bisa menyelesaikan S-3 selama tiga tahun dianggap pintar. Kalau empat tahun dianggap kurang pandai," ujar Khodir. "Saya sudah empat tahun belum selesai," tambahnya.

Apakah disertasinya nanti juga ditulis dalam bahasa Mandarin?

"Akan saya tulis dalam bahasa Inggris," ujar Khodir. "Pembimbing saya yang minta," tambahnya.

Sebenarnya ia lebih suka menulis disertasi dalam bahasa Mandarin. Tapi universitasnya ingin meningkatkan rating internasionalnya.

BACA JUGA:Bocoran Terbaru Xiaomi Smart Band 9 Active Akan Segera Diluncurkan

BACA JUGA:Penelitian Terbaru Ciptakan Solusi Efektif dan Ramah Lingkungan untuk Mengendalikan Nyamuk

Caranya: menghasilkan lebih banyak penelitian yang ditulis dalam bahasa Inggris. "Calon doktor mahasiswa Tiongkok sendiri didorong untuk menulis disertasi dalam bahasa Inggris," ujar Khodir.

Masjid Fuzhou ini memang berbeda dengan banyak masjid di Tiongkok. Di Beijing maupun Tianjin, masjidnya berada di tengah komunitas Tionghoa suku Hui. Suku Hui itu Islam semua. Masjidnya ramai. Di sekitar masjid penuh dengan resto halal. Enak-enak. Satenya. Huo kuo-nya. Mie dagingnya.

"Hanya kalau Jumat masjid ini ramai. Muslim dari mana-mana datang ke sini," ujar Alwi.

Usai salat magrib kami kumpul lagi di resto ''Bandung''. Resto masakan Indonesia ini sudah punya enam cabang di Xiamen dan Fuzhou. Setelah makan dan omon-omon, guru asal Surabaya tampil. Ia guru piano di Xiamen.

BACA JUGA:Inovasi Teknologi Terbaru Konversi Limbah Menjadi Biofuel yang Ramah Lingkungan

BACA JUGA:Ferrari Meluncurkan F80 Supercar dengan Harga Fantastis dan Performa Luar Biasa

Tidak ada piano di resto itu. Ia sudah merekam suara piano yang ia mainkan. Itu untuk mengiringi istrinya, asal Heilongjiang, yang akan tampil menyanyi. Dia menyanyikan Bengawan Solo. Lalu Rayuan Pulau Kelapa.

"Sudah bisa berbahasa Indonesia?" tanya saya dalam Mandarin.

"Sedikit-sedikit," katanyi. "Mandarin Anda jauh lebih baik dari suami saya," ganti dia menyela.

Saya kira itu caranya merendah. Ternyata begitulah adanya. Sudah 20 tahun punya istri orang Harbin, tinggal di Tiongkok, Mandarinnya guru piano itu masih gaya Suroboyoan.

Tag
Share