Tiga Lima

Dahlan iskan-Photo: istimewa-Gus munir

Ningrum hanya menyebut dirinya sebagai pencinta kesehatan dan angka-angka. Ayahnya, seorang tenaga kesehatan lulusan SMEA di Yogyakarta, ingin Ningrum masuk fakultas kedokteran Universitas Gadjah Mada. 

Dia takut darah. Dia tidak ingin mengecewakan sang ayah. Begitu lulus SMAN 1 Yogyakarta, Ningrum ikut tes masuk fakultas kedokteran. Niatnya hanya ingin menjadi sarjana kedokteran –tidak ingin jadi dokter.

Yang diterima justru pilihan kedua yang idenya datang dari ibunda. Ningrum pun masuk fakuktas kesehatan masyarakat di Universitas Diponegoro, Semarang. 

BACA JUGA:Mobil Dinas Diganti Plat Putih, Diduga Digunakan Untuk Kampanye

BACA JUGA:Nonton Bola Bawa Miras, 23 Pemuda Diringkus

UGM tidak punya program S-1 kesehatan masyarakat –seperti ikut model Eropa.

Minatnya selama S-1 adalah di epidemiologi. Lalu masuk S-2, masih di Undip, di bidang sistem informasi manajemen kesehatan.

Sebenarnya Ningrum ingin S-2 nya di luar negeri. Tapi setiap kali tes tidak bisa lulus. Kemampuan bahasa Inggrisnya kurang. 

TOEFL-nyi tidak bisa mencapai 600. Hanya 498. Padahal sudah banyak kursus. Akhirnya S-2 tetap di Undip.

BACA JUGA:Manisnya Tradisi di Setiap Gigit: Resep Kue Gandasturi yang Lezat dan Sederhana

BACA JUGA:Penyebab Dagu Berlipat (Double Chin) yang Mengganggu Penampilan

Rezeki ke luar negeri itu datang di tahun 2012. Dikti mengirim 100 dosen untuk kursus pendek di Taiwan. Tiga bulan. 

Pilihan Taiwan karena tidak mensyaratkan Bahasa Inggris yang tinggi. Sistem kesehatan masyarakatnya pun sangat sukses.

Program itu mengantarkan Ningrum masuk S-3 di Taipei Medical University. Dia mengambil biomedical informatics.

Di sana Ningrum dibimbing oleh salah satu guru besar, peneliti, yang juga ketua asosiasi international medical informatics.

Tag
Share