Utang Emas
Dahlan Iskan-Fhoto ist-Ist
Lihatlah caranya menolak, ia bilang, "coba saja ke toko lain". Saya pun ke toko di sebelahnya, sama. Akhirnya saya relakan saja, berapa pun nilai yang dia mau bayar. Tentang liontin permata untuk ibu, itu saya beli di Thailand. Ke sana ketika mendapat hadiah grand prize dalam acara kantor. Bersama Mas Nanang Prianto sekeluarga. Ia juga menerima hadiah grand prize di kantor Surabaya.
BACA JUGA:Real Madrid Alami Krisis Pemain Saat Lawan Deportivo Alaves
Saya dan anak saya diajak ke salah satu destinasi wisata, ke sebuah tempat yang dibuat seolah-olah lokasi penambangan emas. Kami dibawa menyusuri lorong bawah tanah, menyaksikan diorama bagaimana penambang emas itu bekerja dengan segala kesulitan dan risikonya. Juga cara bagaimana batuan emas itu diolah, dimurnikan dengan tungku panas.
Kami tahu melalui narasi yang disampaikan dalam Bahasa Indonesia. Di kereta yang membawa kami ada tombol pilihan bahasa apa yang mau kami dengar. Sekeluarnya dari lorong gelap itu, kami diperlihatkan bagaimana cara perajin emas bekerja. Dari balik kaca. Saya mengamati betapa sulitnya perhiasan itu dibentuk, pun sekadar sebuah cincin yang sederhana.
Jadi memaklumi mengapa dalam transaksi pembelian emas ada yang diperhitungkan sebagai ongkos.
Setelah melihat pandai emas itu bekerja, kami diarahkan ke suatu tempat. Area itu luas, terang benderang dengan cahaya lampu. Kilauan emas dan permata terpancar dari dalam etalase kaca. Itulah toko emas terbesar yang pernah saya lihat.
BACA JUGA:Urawa Red Diamonds vs Manchester City : 0-3
Seorang pramuniaga pria, menggunakan bahasa Indonesia menyambut kami dengan ramah dan menggiring saya ke salah satu etalase. Saya tertarik pada sebuah liontin permata. Saya teringat ibu. Harga perhiasan itu tidak terlalu mahal, masih terjangkau. Apalagi sebagai pemenang grand prize saya juga mendapatkan uang saku.
Kebetulan harga perhiasan itu setara dengan uang saku yang saya dapatkan. Tanpa pikir panjang, saya membelinya. Hebat benar ya pramuniaga ini, bisa menebak isi kantong eh dompet saya.. ha ha. Prosesnya lama, liontin permata itu dibawa masuk ke dalam oleh pramuniaga tadi. Katanya mau difoto dan dibuatkan sertifikat. Saya bertanya, "apakah emas ini bisa dijual kembali di Jakarta?". Lalu Ia menjawab "untuk apa beli kalau untuk dijual lagi? "Maksud saya, apakah emas ini laku dijual di tempat lain? Bisa, ia hanya menyebutkan satu daerah di Jakarta-Glodok.
Saya tidak tahu apakah pada saat itu istri Mas Nanang –Mbak Tari– juga terjebak membeli seperti saya, tidak sempat saya tanyakan.
Belakangan ibu saya mendatangi sebuah toko emas di Depok. Beliau bermaksud untuk menjual perhiasan itu sekaligus memastikan apakah emas yang dilengkapi sertifikat itu laku dijual.
BACA JUGA:Periksa 11 Saksi Keterlibatan BPOM Soal Gagal Ginjal Anak
Ternyata tidak laku. Beliau tunjukkan sertifikat pembeliannya. Juga tidak ada pengaruhnya. Kadar emasnya tidak sesuai kriteria. Permata yang terlihat berkilau itu hanya aksesori yang bernama zirconia.
Tidak menyerah, ibu ke toko yang lain. Juga tidak mau terima. Puji Tuhan, seorang inang-inang yang duduk di emperan toko emas itu menjadi penolong. Dia mau membelinya dengan harga Rp 800.000. Tidak mau lebih. Permatanya dilepas saja. Tidak berharga. "Ini hanya serpihan seperti kaca," katanya.
Bagi saya, memiliki ''emas'' ternyata bukan sebuah investasi. Mengalami kerugian sebesar Rp 1.200.000 bukanlah suatu penyesalan. Saya menganggap itu sebagai sebuah pembelajaran yang berharga.