Lia Ahok

Dahlan Iskan-Photo ist-Gus munir

BACA JUGA:PS MALL Ditutup Sementara Usai Insiden Kebakaran

Nasionalisme sempit juga masih mengagungkan doktrin berdikari. Termasuk memuja swadesinya India. Padahal India sendiri sudah lama meninggalkan swadesi --karena swadesi nyaris membuat India bangkrut.

Setelah mendengar 'seminar' saya itu Lia bisa punya dua pilihan: mengembangkan kantor hukumnya di New York atau menjadi hakim. Lia punya peluang jadi hakim di sana. Tapi harus menjadi warga negara Amerika.

Saya pilih yang pertama. Entah Lia. Saya lihat Lia punya energi berlebih. Sayang kalau orang seperti Lia frustrasi oleh kejadian-kejadian politik di dalam negeri.

Menjadi caleg di zaman SBY, dan menjadi tim sukses di zaman Ganjar, apa yang dihasilkannyi: Camino!

BACA JUGA:Pejabat Kemenhub Injak Al Qur'an Viral di Medsos

BACA JUGA:Nekat jadi Joki Pil Ekstasi Perempuan ini Ditangkap

Baik juga Camino: Lia jadi berpikir harus menentukan masa depan. Terutama ketika anak tunggalnyi, Erick, akan pergi jauh ke Austin, Texas, minggu depan.

Erick akan buka usaha properti di sana. Betapa sedihnya seorang ibu. Selama 26 tahun Lia hampir tidak pernah berpisah dengan anaknyi. Seminggu lagi harus berjauhan.

Saya lihat Lia mengusap mata. James diam di meja makan.

"Lia, Anda harus bahagia punya anak seperti Erick. Banyak orang tua yang susah karena kelakuan anak mereka. Erick begitu baik. Relakan ia pergi." Toh suatu saat ia juga harus menikah.

BACA JUGA:Berharap Pelayanan Publik Ditingkatkan Secara Menyeluruh

BACA JUGA:Jadi Inspirasi untuk Tingkatkan Kualitas Produk UMKM OKU Timur

Saya tahu karakter Erick. Anak baik. Tiga hari ia menemani saya di New York. Termasuk dua hari ke pengadilan Manhattan tempat Donald Trump disidangkan perkara uang tutup mulut.

Ketika Erick mengemudikan mobil Lia begitu sering minta Erick harus belok di mana. Erick pun menurut. Padahal, setelah belok, Erick mengatakan 'lewat yang sana lebih cepat Ma'.

Tag
Share