Spesialis Trisula

Ilustrasi dokter melakukan transplantasi ginjal-Foto: Freepik.com-Gus munir

Dia bisa menerima kebijakan baru itu. Setidaknya tidak menentang. Tapi dia masih ingin melihat langkah-langkah lanjutan dari kebijakan baru ini.

"Meng-copy sistem di negara maju saja belum tentu berhasil," ujarnyi. "Tiongkok dengan penduduk yang begitu besar punya sistem pendidikan dokter yang berbeda lagi," katanya.

Setidaknya rakyat akan mengukur keberhasilan program baru Menkes Budi Gunadi Sadikin ini dari dua sudut: apakah biaya berobat bisa turun dan apakah jumlah dokter spesialis meningkat tinggi.

BACA JUGA:Lakukan Sosialisasi Dampak Negatif Penyalahgunaan NAPZA

BACA JUGA:Ajak Masyarakat Jaga Kamtibmas

Dua alasan itulah yang selama ini menjadi akar lahirnya kebijakan baru: biaya berobat mahal karena untuk menjadi seorang dokter juga mahal.

Waktu sekolah menjadi spesialis, seorang dokter kena tombak trisula: kehilangan penghasilan, harus membayar biaya pendidikan, dan menjadi tumpuan tugas-tugas di tempat sekolahnya.

Tempat sekolah itu rumah sakit juga tapi yang menguji dan mengeluarkan ijazah adalah fakultas kedokteran.

Tentu menkes juga tahu penyebab mahal yang lain. Ia sendiri sering mengungkapkan; adanya hubungan khusus antara pabrik obat dan dokter.

BACA JUGA:Janji Bisa Gandakan Uang, Korban tertipu Puluhan Juta

BACA JUGA:Jalan Menuju Sekolah Rusak, Pakaian Guru Sering Basah Akibat Lumpur

Setelah kebijakan baru, sekolah spesialis tidak perlu membayar. Juga tidak lagi kehilangan penghasilan. Bahkan dapat bayaran. Itu belum bisa menghilangkan hubungan khusus antara dokter dan perusahaan obat.

Hubungan khusus itu sudah begitu lama. Sudah menjadi kebiasaan yang membudaya. Alasan pendidikan mahal memang sudah tidak akan ada. Tapi alasan baru tidak akan kurang jumlahnya.(Dahlan Iskan)

BACA JUGA:Stok Gas Elpiji 3 Kg Kosong, Harga Naik

BACA JUGA:Harga Kopi Melambung Tinggi, Tembus Rp 60 Ribu

Tag
Share