Lumpur Timah
Pekerja tambang-Photo ist-Gus munir
Saya tidak tahu apakah Reza, sebagai dirut saat itu, ingin keluar dari kemelut turun-temurun itu: dari pada cadangan timah milik PT Timah dicuri, lebih baik biarlah tetap dicuri tapi PT Timah dapat bagian.
Maka lebih baik pencurian itu dilegalkan. Dikoordinasi. Diolah di dalam negeri.
Kebetulan ada swasta yang sanggup mengoordinasi. Juga sanggup menampung hasil curian yang sudah dilegalkan itu. Lalu lumpur timahnya diolah di mesin mereka. Dimurnikan. Mirip pemurnian nikel.
BACA JUGA:Lakukan Pelantikan hingga Seminar
BACA JUGA:Lagi, Rumah Semi Permanen di OKU Terbakar
Kalau yang terjadi seperti itu saya angkat topi pada Reza. Ia bisa mengakhiri pencurian masal berwindu-windu di sana.
Asal demi PT Timah. Demi negara. Tidak ada kongkalingkong antara swasta dan pribadi-pribadi di manajemen PT Timah.
Jangan-jangan korupsinya di situ? Kelompok swasta tersebut mengalirkan sebagian keuntungan ke oknum PT Timah?
Jangan-jangan itu hanya perkiraan saya yang salah. Ternyata bukan itu sama sekali. Hanya jaksa yang tahu.
Maka saya harus sabar menunggu berita lanjutan: di mana letak korupsinya.
BACA JUGA:Gelar Hifzil Qur'an
BACA JUGA:Bebaskan Penadah Ponsel Curian Lewat Restorative Justice
Toh besok saya masih harus ke Songkou –satu jam ke pedalaman Meizhou. Telanjur janji ke sana. Rencana awal saya ke Songkou dengan Mimi, cucu Tjong A Fie Medan. Itulah kampung halaman Tjong orang yang terkaya se Asia Tenggara di masa nan lalu.
Mimi di usianya yang menjelang 70 tahun belum pernah ke Songkou –bahkan belum pernah ke Tiongkok.
Begitu saya ajak berangkat ke Meizhou, Mimi tiba-tiba tidak bisa meninggalkan Medan.