Loncatan Saud
Dahlan Iskan-Photo ist-Gus munir
Lomba balap Formula-E melewati jalan pembelah zaman itu.
Di kawasan sebelum jembatan adalah fasilitas pendukung: Kafe-kafenya menarik. Seperti suasana di Prancis selatan. Atau di Monaco. Atau di Napoli.
Setelah jembatan, sepenuhnya peninggalan kuno: istana tanah. Besar sekali. Serba warna tanah. Untung di halamannya ditanami banyak pohon kurma. Sedikit rasa rindang. Apalagi di bawah kurma itu dijadikan ladang sayur percontohan: tomat, terong, lobak, kubis, selada, dan banyak lagi. Begitu subur sayur itu. Tidak seperti yang saya belajar tanam di Mojokerto bulan-bulan lalu.
Meski kota besar Riyadh tidak seperti Dubai atau Doha. Di Riyadh, jumlah gedung pencakar langitnya masih sedikit. Kalah dengan Makassar. Memang urgensi membangun gedung tinggi tidak ada: tanah begitu luasnya.
BACA JUGA:OKU Raya Masuk Zona Rawan Bencana, Masyarakat Diimbau Waspada
BACA JUGA:Mau Menu Takjil yang Bisa Manjakan Lidah untuk Berbuka Puasa? Ini Rekomendasinya !
Di Riyadh saya memang berbuat tumben: datang ke kedutaan Indonesia. Duta besar kita di Saudi adalah aktivis, intelektual, ajengan, dan penulis: Dr KH Abdul Aziz Ahmad. Pernah jadi sekjen GP Ansor. Waktu itu ketua umumnya wartawan, Slamet Effendi Yusuf. Pernah juga jadi ketua KPU (Pemilu 2009). Orang Cianjur. Anak ajengan, kiai. Lulusan Gontor, Ponorogo. S-1 nya di UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat. Master-nya di Melbourne, adik kelas Fachry Ali. Doktornya di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Maka asyik diskusi buku dengan beliau. Saya diberi buku barunya: Negara Rasional. Yakni hasil kajiannya mengenai pemikir dunia Ibnu Khaldun. Itu buku ketiga yang ia tulis.
Saya perlu ke kedutaan juga untuk mengejar Wi-Fi dosis tinggi: pagi itu harus berbicara di depan wisudawan Universitas Terbuka. Pukul 09.00. Berarti pukul 05.00 waktu Riyadh.
Harun sendiri ingin kuliah S-2 di UT. Sudah dua tahun gagal. "Harus tes TOEFL," katanya.
Ia tidak takut tesnya. Harun sudah lebih 5 tahun bekerja di kedutaan. Bahasa Inggris adalah lauk-pauknya. Tapi untuk tes TOEFL harus pakai biaya. Mahal –untuk ukuran gajinya yang bukan diplomat. Apalagi kalau harus kursus TOEFL dulu.
BACA JUGA:Tingkatkan Kualitas dan Kapasitas Pelaporan di Desa
BACA JUGA:Tingkatkan Mutu Pendidikan, Kembangkan Kemampuam Sains Siswa
"Apakah tidak bisa syarat tes TOEFL itu diganti yang lain? Misalnya jaminan dari atase pendidikan?" tanyanya.
Bagi saya itu bukan pertanyaan. Itu ide bagus untuk UT.