Beras Bansos

Beras Harbin - (Foto: Disway)-Gus munir

BACA JUGA:Berebut Tiket Final

Fleksibilitas lidah itu bersumber dari ekspektasi. Dugaan saya: lidah bisa fleksibel karena tidak pernah punya ekspektasi bisa selalu makan nasi Harbin.

Ekspektasi kebanyakan orang cukuplah: beras ada. Tidak harus ngetan dan wangi. Cukup enak cukup –untuk lidah fleksibel. Berharap juga harga pun terjangkau.

Tahap ''ada beras'' dan ''beras cukup'' pernah tercapai. Yakni di zaman mertua presiden terpilih sekarang jadi presiden. 

Setelah itu harusnya kita naik kelas: dari ''ada'' dan ''cukup'' ke rasa yang lebih enak.

BACA JUGA:Turunkan Kekuatan Terbaik

BACA JUGA:Lakukan Sosialiasai Pendidikan Anti Korupsi

Ternyata kita tidak bisa naik kelas. Tidak pernah bisa. Kita begitu cinta pada kelas yang sama. Bahkan status ''cukup'' itu pun masih sering terganggu: harus impor. 

Setiap presiden takut inflasi. Begitu muncul ramalan bahwa stok beras menipis keputusannya cepat: impor beras! Kalau tidak, akan inflasi. Harga beras sangat sensitif pada inflasi.

Data stok beras kita sangat terbuka. Memang harus terbuka. Para pedagang besar tinggal lihat: masih berapa juta ton cadangan beras kita. Begitu angkanya menunjukkan tinggal 1,5 juta ton, mereka nguping: kapan keputusan impor dibuat.

Keputusan itu biasanya diproses di Kemenko Perekonomian. Rapatnya berkali-kali. Menteri pertanian biasanya berbeda pendapat dengan menteri perdagangan. 

BACA JUGA:Gelar Seleksi Duta Lalulintas 2024

BACA JUGA:Warga Binaan Tingkatkan Ilmu Agama

Debatnya bisa keras. 

Menteri pertanian biasanya tidak setuju impor: bela petani. Lalu dibuatlah simulasi inflasi. Kalau tidak impor inflasi akan menjadi berapa. Kalau impor hanya sekian juta ton inflasi berapa. Impor separonya bagaimana.

Tag
Share