Tungku Sigit
--
BACA JUGA:Laga Hidup Mati
Jadi, untuk lapisan-dalam tungku Anda tidak pakai batu tahan api?'' tanya saya. Saya ingat semua konstruksi kiln dilapisi batu tahan api.
Saya tidak mau menggunakan batu tahan api,'' kata Sigit.
Kenapa?''
Batu tahan api itu justru menyerap panas,'' jawab Sigit. ''Saya pakai bata karena ingin bata itu memancarkan panas untuk membakar sampah,'' tambahnya.
Rupanya Sigit menggunakan prinsip bakar bata di desa-desa. Lalu disempurnakan. Saya mudah memahami prinsip kerja tungku Sigit itu karena saat remaja sering ikut bakar bata.
Rupanya itulah yang membuat Sigit sering dikeluarkan dari SMA. Sampai pindah SMA sembilan kali. Ia terlalu sering mengoreksi gurunya. Terutama guru matematika dan fisika. Lalu Sigit dianggap anak nakal.
BACA JUGA:Menang atau Pulang
Saya juga pernah dikeluarkan dari SMA Panca Bhakti Magetan,'' katanya. Rupanya Sigit tahu SMA tersebut berada di bawah Pesantren Sabilil Muttaqin Magetan –di lingkungan keluarga besar kami. Saya pun malu tersipu.
Apakah Anda juga sering mengoreksi guru agama?'' tanya saya.
Tidak,'' jawabnya. Ternyata hanya di pelajaran agama yang Sigit tidak pernah koreksi. ''Ayah saya kiai,'' katanya.
Dengan prinsip tungku seperti itu maka sampah yang tidak bisa didaur ulang tuntas terbakar di situ. Nyaris tanpa biaya operasional. Investasinya pun sangat murah. Biaya membangun tungku itu hanya sekitar Rp 250 juta. Sebelum di-mark-up. Kalau pun satu kelurahan perlu dua tungku itu baru Rp 500 juta.
Bagaimana dengan sampah basah? Bekas pampers atau kain pel?
Justru bagus,'' kata Sigit. ''Kadar air di sampah itu menambah besarnya api. Molekul-molekul air yang pecah meningkatkan nyala api,'' katanya.
BACA JUGA:Manipulatif hingga Kasar Tanda Red Flag