Klimaks Kedua

Oleh: Dahlan Iskan-Photo ist-Gus munir

"Kami orang Melayu tidak suka durian yang rasanya pahit," ujar Aziz mengenang masa kecilnya. Lama-lama orang Melayu pun suka Musangking. "Setelah suka mulailah orang Melayu tidak mampu membeli musangking," tambahnya dengan nada pahit.

BACA JUGA:Perkuat Barisan Pengaman Pemilu

BACA JUGA:Ambisi Kembali ke Jalur Kemenangan

Harga musangking memang naik lebih 10 kali lipat –sekitar 10 tahun lalu. Yakni ketika terjadi el nino. Kemaraunya sangat panjang. Kekurangan air. Produksi sangat kurang. Lalu terbentuklah harga baru. Musangking seperti raja –tidak mau turun. Pun ketika el nino telah lama lewat. 

Padahal sudah banyak syarikat besar yang melakukan investasi musangking besar-besaran. Sudah ada yang menanam 5.000 hektare. Kualitas sama. Rasa sama. Tidak ada konsumen yang tertipu ala beli durian. 

"Pemerintah sudah menentukan standar durian musangking," katanya. Cara penyelidikan tanahnya standar. Cara pengolahan tanahnya baku. Cara tanamnya ditentukan. Pun cara pemupukan, pengaturan air, dan pemeliharaan. Sampai ke masalah panennya.

Standarisasi seperti itu yang belum ia lihat di Indonesia. "Saya sudah keliling dari Aceh sampai Sulawesi," katanya.

"Di Indonesia durian apa dan dari daerah mana yang paling enak?" tanya saya. Kepo. 

BACA JUGA:Liverpool vs Chelsea : 4-1

BACA JUGA:Dewan Pers Bakal Gelar Deklarasi Komitmen Kemerdekaan Pers Dihadiri oleh Capres-Cawapres

Aziz terdiam. Lama. Seperti malas berpikir. Saya tahu: ia kesulitan menemukan jawaban. 

"Mungkin Medan," jawabnya tanpa semangat.

"Bukan Jambi? Sorolangun?"

Ia kembali diam. Lama. Tidak ada komentar apa-apa.

"Sudah ke Kalimantan Barat?" tanya saya setengah protes.

Tag
Share