Tahija Wolbachia
--
Tapi harus dimulai. Ia pun memilih fokus pada pemusnahan jentik nyamuk pembawa virus demam berdarah: aedes aegypti. Pakai teknologi control of targeted sources.
BACA JUGA:BACA JUGA:Kemiskinan Ekstrem di Sumsel Turun Drastis
Gagal.
Lima tahun Yayasan Tahija berjuang melawan jentik aedes aegypti. Tidak membuahkan hasil. ''Sudah habis Rp 50 miliar,'' ujar Trihadi yang saat itu belum bergabung ke Yayasan Tahija (baca: Tahiya).
Trihadi orang Kediri. Setelah lulus SMAN 2 Kediri ia masuk ITB. Teknik Industri. Angkatan tahun 1980. Setelah dua tahun bekerja di Elnusa, Trihadi terjun ke lembaga not for profit, NGO. Ia bergabung ke World Vision International.
Selama 30 tahun di WVI Trihadi pindah-pindah: Hong Kong, RRT, Singapura, Belanda, dan terakhir di London.
Kegagalan memberantas jentik aedes aegypti itu dibawa Sjakon ke seminar internasional di Amerika Serikat. Yakni di seminar American Society of Tropical Medicine and Society.
BACA JUGA:Jalan Amblas Nyaris Setengah
Di situlah Sjakon diberi tahu: ada peneliti nyamuk yang serius di Monash University Australia. Namanya: Prof Scott O'Neill.
Prof O'Neill sudah pula melakukan penelitian terapan di kota kecil di Australia utara. Dekat wilayah tropis. Berhasil.
Prof O'Neill memasukkan bakteri Wolbachia ke dalam telur nyamuk. Itu membuat nyamuk tidak bisa menularkan bakteri ke nyamuk lain maupun ke manusia.
Bakteri Wolbachia itu ditemukan di tahun 1924. Wolbachia ditemukan di banyak serangga, tapi tidak ditemukan di nyamuk.
BACA JUGA:Sopir Truk Luka Parah
Ketika O'Neill memasukkannya ke telur nyamuk maka nyamuk baru tersebut tidak lagi bisa menularkan DB ke manusia.
Pulang dari seminar di Amerika, Sjakon melakukan kontak dengan Prof O'Neill. Lalu di tahun 2011 Sjakon ingin menggunakan temuan itu di Indonesia.