Surat Papa
Proses persemayaman Alvin Lim. -Foto: Disway-Gus munir
Oleh: Dahlan Iskan
SAYA mesong di hari terakhir Alvin Lim di persemayamannya di Grand Heaven, Pluit Jakarta.
Tiga ruang di lantai dasar di rumah duka itu dibuka jadi satu. Luas. Dipenuhi meja dan kursi.
Di atas meja banyak makanan disajikan. Begitu banyak orang yang mesong –melayat dalam bahasa Hokkian– selama empat hari di persemayaman itu.
Keesokan harinya, Jumat kemarin, mayat pengacara Alvin Lim dikremasi. Itu sesuai dengan wasiatnya: dibakar. Lokasi pembakaran di lantai lima Grand Heaven itu juga.
BACA JUGA:Berharap Bangun Irigasi
BACA JUGA:Kerusakan Jalan Lingkar makin Parah
Tuan rumah di tempat mesong itu adalah dua wanita muda –salah satunya masih remaja: Phio, istri Alvin Lim, dan Kate putri Alvin dari istri terdahulu.
Sebentar lagi Kate tamat SMA Katolik di Tangerang.
Dua wanita itulah yang menerima ucapan duka. Tapi Kate lebih sering duduk di kursi di pojok peti mayat papanyi. Pojok kiri atas. Tepat di sebelah kepala sang ayah.
Kepala Kate disandarkan ke pojok peti itu. Tangan kanannyi membelai pipi sang ayah. Meraba bibirnya. Menyentuh hidungnya. Mengusap telinganya. Saya berlinang menyaksikan itu.
BACA JUGA:Tingkatkan Keamanan, Gencar Patroli Kunjungi Satposkamling
BACA JUGA:Nurul Qomar Sempat Ingin Mendirikan Sekolah Sunda
Maka Kate sering tidak ikut menyambut pelayat. Mereka datang langsung menuju peti jenazah, berdiri tegak, membungkuk, memberi hormat, lalu berdoa menurut agama masing-masing.