Dosen GPT

Dahlan Iskan-Photo: istimewa-Gus munir

Begitu masuk pintu pesawat saya lihat tinggal satu tempat duduk di kelas bisnis yang kosong. Paling depan kiri. Saya pun berpikir: oh... Di situ dia akan duduk.

Tidak! Dia terus berjalan melewati kelas bisnis itu. Ternyata dia duduk di kelas ekonomi.

"Kursi saya lebih di sana," kata saya kepada Stella sambil pamitan menuju lebih ke belakang.

BACA JUGA:Ekonomi Produktif Sasar Warga Miskin

BACA JUGA:MenPANRB Pastikan Nasib Honorer ‘Aman’

Saat berjalan bersama itu kami pun tahu: tujuan kami sama. Ke Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh. Ada seminar internasional di situ: memperingati 20 tahun Tsunami Aceh. Hari-hari ini, 20 tahun lalu, peristiwa besar itu terjadi.

Prof Stella ternyata sudah tahu: di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) ada hasil penelitian yang penerapannya sudah sampai ke skala komersial: nilam. Yang menghasilkan minyak atsiri kualitas tinggi. Sudah ekspor pula.

Dia terasa bangga saat menyinggung hasil penelitian nilam itu. Rasanya Prof Stella ingin tahu lebih banyak lagi di Aceh.

Sudah begitu banyak yang saya tahu tentang Prof Stella. Mulai dari caranyi berpikir sampai caranyi mengajar. Kian tahu kian simpati.

BACA JUGA:Surat Hingga Kotak Suara Dilelang

BACA JUGA:Matcha, Beragam Manfaat untuk Kesehatan

Juga tentang sikapnyi pada ChatGPT: "Kalau masih ada dosen yang memberikan pertanyaan pada mahasiswa yang bisa dijawab dengan cara membuka ChatGPT berarti dosen harus cari pertanyaan lain".

Turun dari pesawat saya sudah kada pinandu. Prof Stella sudah pakai kerudung. Bandara penuh dengan penyambut. Lengkap. Rektor Unsyiah Prof Marwan dan Rektor UIN Ar-Raniry Prof Mujiburrahman. Pesawat telat lebih setengah jam. Langit Banda Aceh agak mendung. Hari sudah mulai gelap.(Dahlan Iskan)

Tag
Share