"Karena itu saya ajak anak saya ke sini," jawabnya.
Goenawan termasuk yang tidak akan pulang bersama rombongan. Ia akan langsung ke beberapa kota menemui partner-partnernya di Tiongkok.
Inspirasi bisnis kerupuk datang saat ia tinggal di Belanda. Goenawan memang kuliah di Hamburg. Di bidang komputer. Tujuh dari sembilan bersaudaranya lulusan Jerman.
Sejak SMA Goenawan sudah ingin berdagang: mengikuti jejak sang papa yang punya beberapa pabrik tapioka. Ia khawatir tidak ada di antara saudarannya yang terjun ke bisnis.
BACA JUGA:Jadi Utusan Khusus Presiden, Raffi Ahmad Tak Pikirkan Gaji
BACA JUGA:Jenazah Liam Payne Dikabarkan Dimakamkan Bulan Depan
Kakak sulungnya diminta mertua gabung ke perusahaan rokok besar milik sang mertua. Kakak-kakak lainnya wanita: akan ikut suami mereka. Adik-adiknya masih kecil.
Maka selesai kuliah Goenawan tinggal di Belanda. Dagang. Ia mendatangkan hasil bumi Indonesia ke Eropa. Ia tahu orang Belanda begitu menyukai kerupuk udang Indonesia.
Goenawan juga buka restoran Indonesia. Laris. Berkembang. Sampai jadi lima restoran. Namanya Anda masih ingat –karena pernah makan di sana: Menuet. Anda juga sudah tahu apa artinya.
Setelah kawin, Goenawan mengajak istri tinggal di Belanda. Tidak kerasan. Tidak cocok dengan iklimnya. Sang istri minta pulang.
BACA JUGA:Dikabarkan Akan Dijual ke Juventus, Zirkzee Tolak Kembali ke Serie A
BACA JUGA:PSSI Luncurkan Inovasi Baru Garuda ID
Sejak itulah Goenawan berpikir untuk bisnis kerupuk udang. Bukan lagi mentah. Tidak akan seperti yang dikirim ke Belanda. Goenawan bikin pabrik kerupuk goreng. Banyak rasa.
Yang paling laris yang rasa asli dan barbeque. Kemasannya bagus. Rasanya –saya mencicipi contoh yang ia bawa ke Tiongkok.
Goenawan mewakili perasaan kita: bagaimana bisa menembus pasar Tiongkok yang amat keras.(Dahlan Iskan)