JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) batal mengesahkan Revisi Undang-Undang (UU) Pilkada pada Rapat Paripurna, Kamis (22/8). Rapat tersebut tidak mencapai kuorum, sehingga pengesahan tidak dapat dilakukan. Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, mengonfirmasi bahwa rapat paripurna sempat dibuka pada pukul 09.30 WIB, namun diskors selama 30 menit karena kuorum tidak terpenuhi.
Dengan batalnya pengesahan ini, Dasco memastikan bahwa pelaksanaan Pilkada 2024 akan mengikuti ketentuan yang diatur dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat pencalonan kepala daerah. MK sebelumnya memutuskan perubahan ambang batas pencalonan kepala daerah yang telah menuai berbagai reaksi.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mochammad Afifudin juga menyatakan bahwa KPU telah mengirimkan draf Peraturan KPU (PKPU) nomor 8 tahun 2024 tentang syarat Pilkada sebagai tindak lanjut dari putusan MK kepada Komisi II DPR.
BACA JUGA:Kenali Anak- Anak Mengalami Tesedak
BACA JUGA:Polres OKU Selatan Optimistis Mampu Jaga Keamanan dan Ketertiban Pilkada di OKU Selatan
Namun, keputusan untuk membatalkan pengesahan RUU Pilkada ini juga menciptakan kekhawatiran bahwa ada celah bagi DPR atau pemerintah untuk mencoba menganulir putusan MK melalui mekanisme lain, seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Brawijaya, Muhammad Ali Safa'at, berpendapat bahwa secara hukum, tidak ada celah lagi bagi pemerintah untuk menganulir putusan MK. Namun, ia juga mengingatkan bahwa apabila terjadi perubahan dalam penyusunan PKPU yang bertentangan dengan putusan MK, hal itu akan dianggap inkonstitusional.
BACA JUGA:Lengkapi Syarat, Abusama-Misnadi Ikuti Medical Chek Up
BACA JUGA:Libatkan Siswa, Kejari OKU Selatan Bakal Gelar Kejuaraan Renang
Masyarakat diminta tetap waspada dan mengawal pelaksanaan putusan MK ini hingga proses pendaftaran calon kepala daerah selesai. Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M Jamiluddin Ritonga, juga menyoroti potensi terjadinya manuver politik yang dapat membatalkan putusan MK, baik melalui DPR maupun Perppu yang dikeluarkan oleh Presiden.
Dalam konteks ini, Jamiluddin menyarankan agar masyarakat terus mengawasi DPR dan Istana untuk memastikan bahwa putusan MK dijalankan tanpa perubahan yang dapat merugikan proses demokrasi di Pilkada 2024. (*)