Senyum Muda

Selasa 05 Mar 2024 - 20:50 WIB
Reporter : Gus munir
Editor : Gus munir

BACA JUGA:Ajukan Jalan Nasional

BACA JUGA:Kapolres OKU Timur Raih Pin Emas

Membaca nama Buraydah itu tiba-tiba muncul panggilan hati: turun di Buraydah. Tidak jadi ke Riyadh. Bermalam di Buraydah dulu. Di pedalaman Arab Saudi. Ingin tahu: seperti apa kota di tengah padang pasir.

Tinggal atur siasat: bagaimana agar boleh turun di kota sebelum tujuan. Saya siapkan jawaban-jawaban dari berbagai kemungkinan pertanyaan.

Bus ini pasti berhenti di Buraydah. Ini kota besar. Sudah waktunya sopir istirahat. Atau makan. Kenapa tidak ada informasi apa pun soal bus akan berhenti di mana saja. Tapi saya maklum. Ini Saudi.

Go head. Saya pun lebih sering lihat map. Kian mendekati Buraydah kian kuat keinginan untuk turun di situ. Ke Riyadhnya bisa keesokan hari. Toh tidak ada janji bertemu dengan siapa pun di Riyadh.

Lalu terlihat bus keluar dari jalan raya. Saya tidak tahu itu di mana. Tidak ada jendela. Buraydah masih agak jauh –meski terlihat dekat di peta.

BACA JUGA:Terjadi Longsor, Aktivitas Dua Desa Lumpuh

BACA JUGA:Imbau Masyarakat Tak Bawa Senjata Tajam

Saya intip dari jendela penumpang depan: ini masih padang pasir. Ini seperti rest area. Rest area pertama setelah perjalanan enam jam.

Ada pompa bensin. Ada kios-kios. Masjid. Toilet. Beberapa bus yang berhenti. Sedikit mobil kecil.

Semua penumpang turun. Saya mulai ragu: ternyata bus ini berhenti di sini. Bukan di Buraydah. Logika normal saya salah: bus akan berhenti di kota besar berikutnya. Saya terlalu sering naik bus Greyhound di Amerika. Logika bus saya terbentuk dari situ. Atau dari sejak kecil di negeri sendiri.

Di sini ternyata bus berhenti di rest area

Jangan ragu! Pantang mundur!

Tetap harus turun di sini!

Bahwa dari rest area akan naik apa ke Buraydah diatur belakangan. Di mana ada kemauan di situ ada kemungkinan.

Kategori :