Pertama Coblos

Kamis 15 Feb 2024 - 00:39 WIB
Reporter : Gus munir
Editor : Gus munir

Beliau marah lewat telepon. Panjang. Saya dengarkan sungguh-sungguh. Sama sekali tidak memotong pembicaraan beliau. Saya memang merasa bersalah: kok seberani itu. Saya tidak perlu menjelaskan mengapa sikap itu saya ambil. Biarlah beliau marah. Beliau memang berhak marah. Wajar sekali. 

Sampai sekarang pun saya belum punya kesempatan menjelaskan latar belakang keputusan saya waktu itu. Yang jelas pilihan saya tersebut sangat tepat. Sampai sekarang mantan dirut itu masih tetap jadi orang hebat. Jadi menteri yang penuh prestasi.

Dalam menghadapi marahnya Pak Said tadi saya juga diam. Tidak berusaha menjelaskan mengapa koran perlu bersikap independen. Saat itu pun independen dianggap anti Golkar.

Saya terus saja mendengarkan kemarahan beliau. Pak Said tahu bahwa saya mendengarkan sungguh-sungguh. Saya sudah bertekad: berapa jam pun dimarahi akan tetap diam-pasrah seperti itu. 

BACA JUGA:Petani Tak Kapok, Meski Gagal Panen Tetap Pilih Tanam Bawang

BACA JUGA:Anies0Cak Imin Unggul di - Daerah Istimewa Aceh

Terakhir Pak Said sampai pada puncaknya: mengancam akan menutup Jawa Pos. Ia bisa melakukan itu. 

Saya tidak menunjukkan ekspresi kaget atau menantang. Beliau terus berkata-kata mengenai kekuasaan yang beliau miliki. Saya tetap diam. Maka beliau tegaskan: Jawa Pos akan ditutup.

Setelah kata itu diucapkan, saya baru minta izin bicara. Pakai bahasa Jawa halus. ''Kalau Jawa Pos memang akan ditutup, saya pasrah. Setelah itu saya nganggur. Saya akan ikut kerja di Pak Said,'' kata saya lirih, sambil menunduk.

Beliau diam agak lama. Lalu berdiri. ''Ya sudah, boleh pulang,'' ujar beliau. 

Saya pun menyalami tangan beliau dan menciumnya.

BACA JUGA:Prabowo-Gibran Ucapkan Rasa Syukur Unggul Quick Count Siap

BACA JUGA:Optimis Sekali Putaran

Saya pasrah apa yang akan terjadi. Saya tidak ceritakan pertemuan itu ke redaksi dan wartawan. Saya khawatir akan memengaruhi independensi mereka. 

Yang jelas, setelah itu,.Jawa Pos baik-baik saja.

Menjelang Pemilu berikutnya saya dipanggil ke Progo 5. Itulah rumah Pak Said: di jalan Progo No 5 Surabaya. Itu sudah jadi rumah politik. Siapa saja yang ingin jadi apa saja harus sowan ke Progo.

Kategori :