Salah satu relawan ahli itu: Prof Dr Paul Tahalele. Sahabat lama. Sesama Bonek Karatan --sebutan untuk penggila Persebaya sampai hari kiamat. Ia orang Ambon, kelahiran Lombok, lulusan fakultas kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.
Paul Tahalele sudah tergolong "ayatullah" untuk urusan bedah jantung di Indonesia. Usianya sudah 77 tahun tapi terlihat lebih muda dari saya --mungkin karena ia punya grup band D'Professor. Hobinya memang sepak bola dan menyanyi.
Di usia itu kini Paul Tahalele harus terbang ke sana ke mari. Tidak dibayar. Hanya dibelikan tiket dan disediakan penginapan. Ke Kupang. Ke Tarakan. Ke Ambon. RSV Kupang berada di bawah pengampuannya. Pun RSUD Tarakan. Masih ada RSUD Ambon, Sulbar, Gorontalo, Palu, Papua, dan Maluku Utara.
Tentu pemerintah beruntung menemukan relawan yang mau mengampu RS di Indonesia Timur. Paul sendiri dari sana. Biasa melihat kemiskinan dan kekurangan. Itu pula yang membuatnya jadi jagoan.
BACA JUGA:Tips Efektif Mencuci Sepatu agar Bersih, Awet, dan Bebas Kuman
BACA JUGA:Cara Ampuh Menghilangkan Jamur di Mukena agar Tetap Bersih dan Wangi
Paul pernah melakukan operasi jantung hampir tanpa alat di Papua. Pengalaman itu sudah ia bukukan. Satu dari 25 buku yang ia tulis tentang itu.
Paul pun kembali jadi guru di daerah-daerah itu. Guru, mentor, dan sekaligus pengawas. Ia punya kelebihan dalam cara mendidik. Salah satu gelar doktornya di bidang pendidikan.
"Saya didik SDM di RS-RS ampuan saya dengan cara Jerman," ujar Paul kemarin malam.
Paul memang mendapat gelar doktor (PhD) bedah jantung di Jerman. Di bawah asuhan ahli bedah jatung terkemuka dunia: Prof Dr Juergen von der Emde.
BACA JUGA:Manfaat Mengejutkan dari Uap Air Panas untuk Wajah dan Cara Melakukannya di Rumah
BACA JUGA:10 Cara Mudah Membiasakan Diri Berjalan Kaki untuk Hidup Lebih Sehat
Setiap ke Jerman Paul masih diwajibkan makan siang di rumah profesornya itu. Kini sang profesor sudah berusia 92 tahun.
Begitu antusias Paul bercerita. Tentang apa saja. Saya sebenarnya sudah mengantuk untuk kisah pengabdiannya kali ini. Sudah pukul 23.00. Belum istirahat sehari penuh. Baru selesai pula jadi tuan rumah berbuka puasa lebih 200 orang di rumah saya. Tapi saya lihat Paul belum mengantuk.
Padahal baru mendarat dari Kupang via Denpasar. Pesawatnya mendarat terlambat. Terkena badai. Membayangkan betapa lelahnya Paul membuat saya malu mengantuk.
Untuk maju sering harus dipaksa. Termasuk dipaksa untuk tidak mengantuk.(Dahlan Iskan)