BACA JUGA:Pimpinan KPU Boleh Ganti, Sistem Tidak Berganti
Prof U-ut pun menjelaskan pelaksanaan program Wolbachia di Yogyakarta itu. Maka menkes memutuskan: melanjutkannya ke daerah-daerah lain yang sangat tinggi kasus DB-nya.
Kemenkes tetap menggandeng pelaksana program yang di Yogyakarta: Yayasan Tahija dan Universitas Gadjah Mada —di bawah tim Prof U-ut.
Waktu itu Yayasan Tahija, bersama UGM, sudah mempelajarinya dengan sangat mendalam. Terutama saat negara bagian Queensland, Australia, melaksanakan pelepasan Wolbachia di kota Brisbane. Itu tahun 2009. Hasilnya sangat baik. Juga sangat aman.
Indonesia adalah negara kedua yang menerapkannya —setelah Australia. Kini sudah 14 negara yang akan mengikuti.
BACA JUGA:BACA JUGA:Penertiban APK Ditolak Sopir Angkot
Dari mana jutaan telur Wolbachia didapat?
Kami ambil dari Yogyakarta,'' ujar dr Sjakon Tahija. ''Yayasan kami sudah bisa memproduksinya,'' tambahnya.
Ketika mempraktikkannya di Yogyakarta, Yayasan Tahija bekerja sama dengan sekitar 3000 relawan. Merekalah yang mendidik masyarakat. Tidak ada paksaan. Penduduk yang rumahnya rela dipakai pelepasan Wolbachia boleh mendaftar.
Mereka diminta menyiapkan ember. Berisi air. Lalu telur-telur Wolbachia ditaruh dalam air di ember itu. Begitulah cara nyamuk berbiak.
Proses yang sama akan dilakukan di enam daerah di atas. Tahun depan sudah diketahui apakah cara baru mengatasi demam berdarah ini juga berhasil di sana.
BACA JUGA:Hujan Membantu Penanganan Karhutla
Berbagai penelitian atas nyamuk memang dilakukan di banyak negara. Sejak Anda belum lahir: tahun 1924. Termasuk penelitian mengenai cara nyamuk berhubungan seks. Juga reproduksinya. Yang pertama melakukan adalah Simeon Burt Wolbach —dari nama belakangnya diambil.
Tapi penelitian lanjutan yang sangat gigih terjadi telah tahun 1970-an. Di seluruh dunia —terutama di Amerika.
Indonesia setidaknya tidak takut menerapkannya. Termasuk tidak takut pada kritik kelompok Gerakan Sehat untuk Rakyat yang sangat keras —yang menuntut program Wolbachia dibatalkan sekarang juga. Salah seorang di dalamnya adalah mantan Menkes Prof Dr Siti Fadilah Supari.
Yogyakarta rupanya memang istimewa. (*)