BACA JUGA:NEC Nijmegen Bantai Fortuna Sittard, Calvin Verdonk Cetak Gol
BACA JUGA:Bantah Naturalisasi Mitchel Bakker
Dengan pinjaman itu saya yakin mereka bisa hidup lagi. Saya pun menunggu kapan Fajar terbit kembali. Sampai satu bulan kemudian Fajar belum terbit juga.
Tak lama kemudian saya dengar selentingan Alwi datang ke Kompas. Mau gabung ke grup Kompas. Saya tanya kepadanya kebenaran selentingan itu. Alwi membenarkannya.
"Kenapa harus bergabung ke Jawa Pos atau Kompas? Kenapa tidak mau mandiri?" tanya saya.
"Kami melihat masa depan koran di Indonesia hanya dua itu. Lainnya akan mati semua," jawabnya.
BACA JUGA:Angka Kemisikinan Ekstrem Turun
BACA JUGA:Ajukan 7 Tuntutan Honorer Pemkot Lubuklinggau Demo
Begitu Alwi menegaskan itu saya pun menjawab: "Ya sudah. Masuk Jawa Pos saja".
Alwi senang. Sejak saat itu kami, dua pecinta jurnalisme, jadi dua serangkai.
Saya pun ke Makassar. Tinggal satu minggu di sana. Saya bidanilah terbitnya kembali Fajar. Tanpa modal dari Jawa Pos. Setoran modal Jawa Pos adalah tenaga dan pikiran saya.
Selama satu minggu itu saya kerja siang malam bersama para wartawan dan karyawan Fajar. Sore sampai malam saya bekerja bersama wartawan dan redaktur.
BACA JUGA:Dibakar Karna Dituduh Curi Uang Nenek Korban, Pelaku Hanya Nakuti
BACA JUGA:Tren Tanaman Hias 2025, Percantik Rumah dengan Sentuhan Hijau Kekinian
Setelah tengah malam saya bekerja dengan orang-orang percetakan.
Setelah subuh saya bekerja bersama karyawan distribusi. Baru tidur setelah pukul 06.00 pagi.