BACA JUGA:Tips Kulit Wajah Kencang dan Awet Muda Secara Alami
"Hanya orang dari daerah ini yang mau sungguh-sungguh memikirkan kemajuan daerah ini," kata saya kepada mereka. "Orang di luar daerah ini tidak akan sungguh-sungguh membela daerah ini. Pun yang dari pusat," kata saya lagi.
Empat orang pun unjuk jari. Saya minta mereka naik panggung. Saya ingin mendengar ada ide apa dari orang-orang daerah sendiri.
"Pesawat yang mendarat di Kertajati mengeluh harga avturnya lebih mahal," kata salah satunya.
Saya tidak tahu kebenaran pendapatnya itu, tapi ia bilang begitulah adanya.
"Mestinya ada shuttle bus dari Bandung dan dari Cirebon," ujar satunya lagi. "Saya heran mengapa konektivitas seperti itu tidak dipikirkan," tambahnya.
BACA JUGA:Honor GT Resmi Diluncurkan Smartphone Khusus Gamer dengan Performa Tinggi
BACA JUGA:Redmi Turbo 4 Bocor Jelang Peluncuran Januari 2025
Saya juga tidak tahu apakah saat penutupan bandara Husein tidak dibarengi pengadaan shuttle bus seperti dimaksud. Aneh juga.
"Kalau saya, rencana besar untuk kawasan ini harus dijalankan. Rencana itulah yang melatarbelakangi dibangunnya Bandara Kertajati," ujar pendapat ketiga.
Memang, dulu, pernah ada rencana besar, dengan nama besar: menjadikan Cirebon dan sekitarnya seperti kawasan ekonomi yang terintegrasi. Nama kerennya: Aglomerasi.
Ketika Bandara Kertajati selesai dibangun jangankan sudah dilaksanakan, wacananya pun tidak bergema lagi.
BACA JUGA:Penemuan Fosil Nenek Moyang Mamalia Tertua di Dunia di Mallorca
Dari pendapat-pendapat lokal itu, saya nilai, belum ada yang bernilai viagra. Baru kelas pasak bumi. Harga avtur memang penting. Shuttle bus juga penting. Tapi baru jadi faktor pendukung.
Sedang melaksanakan aglomerasi, Anda sudah tahu, rasanya masih seperti mengharap hujan di musim kemarau.