Dari ngrumpi itulah saya baru tahu bagaimana si wanita Congo pintar berbahasa Mandarin. Lebih lancar dari saya. Juga dibanding umumnya ibu-ibu Tionghoa Indonesia yang ikut ngrumpi di situ.
Nama wanita Congo itu: Jennifer Masika. Meski lahir di Kinsasa, Congo, kuliahnya di Guangzhou. Jurusan computer science.
Di Guangzhou pula dia bertemu mahasiswa asal Tanzania. Muslim. Mereka kawin. Tanpa saling ganggu keyakinan. "Putri saya itu muslim," katanyi sambil menunjuk Adeline.
Waktu remaja, setamat SMP di Congo, Jennifer dibawa ayahnyi ke Jakarta. Sang ayah pengusaha. Pedagang. Di Jakarta sang ayah kulakan batik. Dijual di Afrika.
BACA JUGA:ATR/BPN Gandeng Kementerian Pertahanan dan BIN
BACA JUGA:Tonton Buaya, Jembatan Macet, Warga Pun Panik
"Orang Afrika suka batik," kata Jennifer.
Jennifer dan suami juga sering tinggal di Indonesia. "Suami saya itu seperti tinggal di tiga negara: Tanzania, Indonesia, dan Tiongkok. Jennifer melahirkan Adeline di Jakarta.
Adeline dan Ally sebenarnya ingin punya grup debat sendiri. Sesama remaja Jakarta. Tapi salah satu anggotanya tidak bisa berangkat. Mereka harus cari satu anggota baru.
Di lain pihak si Ndet juga ingin mengulangi sukses tahun lalu. Tapi dua anggotanya, Janette Eve Stefanus (Surabaya) dan Wesley Huang (Kanada) tidak bisa berangkat. Ndet harus cari dua pengganti.
BACA JUGA:Kabel PLN Dicuri, Warga Prabumulih Resah!
BACA JUGA:Mengatasi Kecanduan Nikotin: Bahaya dan Cara Efektif untuk Berhenti
Tumbu ketemu tutup. Mereka bertiga bergabung menjadi satu tim baru. Janjian bertemu di lokasi kompetisi. Remaja bisa cari jalannya sendiri.
Apakah ayah Jennifer masih sering ke Jakarta?
"Ayah saya kini menetap di Congo. Urus kebun kopi," katanyi. Itu karena kakeknyi sudah tua. Umurnya sudah 96 tahun. Masih sehat. Hanya saja harus ada penerus yang urus kebun kopinya.
Ayah Jennifer-lah yang meneruskan jaga kebun kopi. "Luas sekali," katanyi. "Kopinya jenis Arabika," tambahnyi.